MASIH ingatkah kita tentang semboyan Ki Hajar Dewantara ? Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan tersebut di depan memberi contoh atau teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pendidikan hingga sampai sekarang dan di masa yang akan datang selalu dikenang. Zaman akan selalu bertumbuh dan berkembang, demikian juga dengan pendidikan khususnya di Indonesia.
Pada zaman penjajahan, pendidikan di Indonesia sangat terpuruk bahkan sangat tertinggal dengan negara lain. Penjajahan yang sangat lama mengakibatkan masyarakat Indonesia tidak bisa menikmati kemerdekaan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Hanya kalangan tertentu yang bisa bersekolah, sehingga muncullah tokoh-tokoh bangsa yang ikut memperjuangkan nasib bangsa Indonesia.
Penjajah tidak menginginkan bangsa Indonesia menjadi pandai, penjajah menginginkan kebodohan di tengah-tengah masyarakat sehingga mudah dikendalikan. Penjajah memperlakukan manusia tidak semestinya, memberikan kesengsaraan yang mendalam. Inilah contoh perlakuan yang tidak humanis yang dilakukan oleh penjajah.
Tentu saja kita semua berharap, tidak akan ada lagi penjajahan yang mengakibatkan kerugian bagi bangsa ini. Zaman sekarang tentu jauh lebih baik dari zaman sebelumnya khususnya di dunia pendidikan. Ketercapaian kemajuan di dunia pendidikan tidak terlepas dari kemerdekaan untuk mengembangkan prestasi pada diri anak.
Para pendidik memberikan kebebasan pada anak untuk mengeksplore kemampuan dirinya masing-masing. Dalam proses mencapai prestasi anak, guru juga memberikan bimbingan dan semangat. Inilah salah satu penerapan salah satu semboyan ing madya mangun karsa.
Perilaku anak yang menyimpang harus dialihkan ke arah kegiatan yang positif menurut bakat dan minat mereka. Misal yang suka corat-coret di meja atau di tembok diberikan media dan alat untuk kreratifitas anak. Dalam kreatifitasnya tentu saja harus ada contoh atau teladan dan bimbingan.
Kadang perilaku anak yang salah langsung diberikan sangsi atau hukuman, sehingga anak akan menjadi pendendam atau mungkin menjadi rendah diri. Karakter inilah yang menjadi peninggalan zaman penjajahan.
Guru harus melakukan pendekatan lewat komunikasi yang baik dan tidak menyinggung perasaannya. Pemberian motivasi adalah cara untuk membangun karakter anak lebih meningkat. Pemberian contoh yang positif dan keberhasilan orang lain bisa menjadi dasar untuk memotivasi anak.
Kesabaran dan kehati-hatian terhadap anak akan menjadi kunci keberhasilan dalam membangun karakter anak yang bermartabat. Menjadi pendengar yang baik yang disampaikan oleh anak akan membangun kepercayaan anak tersebut. Sosok guru akan menjadi orang tua sekaligus teman.
Sekolah sebagai tempat menimba ilmu. Ilmu kebaikan, perilaku positif, kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, teladan yang mengesankan, dan aspek yang lain akan menjadi sumber ilmu untuk anak dan harapan orang tua. Masyarakat akan menaruh harapan kepercayaan yang tinggi jika sekolah sebagai tempat bernaung memberikan keberhasilan.
Keberhasilan sekolah tidak hanya diukur dari prestasi saja dengan nilai rapor yang tinggi, namun keberhasilan sekolah juga dapat dilihat dari keberhasilan membangun karakter anak yang lebih baik sehingga dapat diterapkan di masyarakat.
Sekolah tidak bisa dikatakan hebat jika tidak bermanfaat untuk semua kalangan masyarakat, bangsa, negara dan agama. Itulah perlunya sekolah yang humanis, sehingga tidak muncul lagi istilah bullying terhadapa anak.
Berbagai latar belakang anak yang berbeda tetapi di sekolah mempunyai tujuan yang sama, yakni belajar secara bersama, menghargai perbedaan, dan meraih kesuksesan sesuai yang dicita-citakan.
Konsep sekolah humanis adalah konsep yang sederhana, tidak mengada-ada. Misalnya panggilan terhadap anak menggunakan kata nak, mas, atau mbak. Bapak ibu guru juga dapat memberi contoh untuk panggilan kepada bapak ibu guru atau bapak ibu karyawan yakni didahului sapaan bapak atau ibu. Konsep sekolah humanis memang sesuai dengan yang diinginkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini yaitu program merdeka belajar. Salah satunya adalah ditiadakannya Ujian Nasional.
Dengan adanya ujian nasional memang membuat semua kalangan menjadi tertekan. Siswa merasa terbebani dengan batasan kriteria kelulusan. Orang tua ikut mersakan dampak buruk dengan adanya ujian nasional. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap ketidakberhasilan anak saat mengerjakan ujian nasional menjadi bebabn tersendiri bagi orang tua.
Para guru juga merasakan beban. Para guru dituntut untuk megejar target yang sesuai atasan inginkan. Daerah juga bersaing untuk memperoleh predikat yang terbaik. Banyak dari siswa yang menjadi korban dari dengan adanya ujian nasional ini.
Dengan adanya konsep sekolah humanis menuju program merdeka belajar, diharapkan para siswa, orang tua, bapak ibu guru, serta masyarakat pada umumnya akan merasakan dampak nyata secara positif. Bukan sekolah dengan membawa beban dipundak seperti pada era kolonial.
Isnanto, S.Pd.
Penulis adalah Pengajar di SMP Negeri 2 Kendal.